#3 Hari Ketiga – Perjalanan From East to North

25 Februari 2019

Selamat pagi HCMC!

Hari ini hari terakhir saya di HCMC karena 2 jam lagi saya harus bergegas ke pool Giant Ibis untuk menuju Phnom Penh – Cambodia. Selesai packing saya menyempatkan diri untuk mampir ke ruang makan hostel untuk menyantap Breakfast. Pagi itu Mr Han dan isterinya ada di ruang makan. Sarapan pagi sendiri disiapkan secara langsung oleh isteri Mr Han. Saat isteri Mr Han menaruh sepiring penne di hadapan saya, saya baru menyadari kalau sebelumnya saya tidak mengirimkan pengecualiaan makanan bahwa saya tidak makan daging babi. Saat menu disajikan saya pun menyingkirkan daging cincang yang menempel di badan penne (sebisa saya). Saat menyingkiran daging cincang tersebut, Mr Han menghampiri saya dan bertanya: “Kamu tidak makan daging? Kamu vegetarian? Maaf saya tidak tahu.” Lalu saya menjawab: “Maaf saya yang tidak bilang sebelumnya. Saya muslim dan tidak makan daging babi. Tapi saya akan makan yang bisa saya makan saja.” Karena tak enak hati pada Mr Han dan isterinya, saya makan yang sebisa saya singkirkan.

Saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 09.25 selagi saya terburu-buru untuk pamit karena bus berangkat pukul 09.45. Kalau berdasarkan jarak digooglemaps sih jaraknya hanya 350 meter, ya perkiraan saya bisa lah berjalan kaki dalam waktu kurang dari 10 menit. Benar saja, ternyata jaraknya hanya melewati 3 jalan besar. Dari jauh saya sudah melihat bus terparkir di depan pool Giant Ibis. Kondektur pun sudah memanggil-manggil penumpang. Dengan nafas tersengal, saya menghampiri pintu bus dan menyerahkan print tiket saya. Setelahnya kondektur bus menunjuk kursi nomor 4-A yang ada di sebelah lelaki asing. Setelah menaruh tas ransel di bagasi atas, saya mohon izin pada kondektur untuk membeli jajanan dahulu di Circle-K. Dengan berlari cepat, saya pun membeli 2 Onigiri isi Tuna, sebotol air mineral dan sebotol teh.

Saat saya menghampiri bangku saya kembali, dengan keringat mengucur, saya baru menyadari bahwa lelaki yang duduk di samping saya itu; Astaga, ganteng banget! Padahal ia hanya memakai T-shirt, celana jeans dan sandal. Saya duduk di dekat jendela, dan ada sebuah insiden bodoh ketika saya berusaha menggunakan seatbelt yang tidak bisa ditarik. Saya pun meminta tolong pada di lelaki bule di samping saya itu untuk membantu memakaikan. Ia pun menarik seatbelt dari ujung bangku saya, dan… Ya, bisa! *memang dasar modus saja saya ini*

Untuk bus Giant Ibis ini, saya rekomendasikan untuk para backpacker. Meskipun harganya lebih mahal dari bis lainnya (yakni $18, hanya bisa dipesan online), bis ini punya fasilitas yang oke. Kursinya nyaman, ada seatbelt, dapat camilan dan air mineral, ada wifi juga, dan tepat waktu. Ketika saya menyadari bahwa semua penumpang (kecuali saya) adalah turis asing dan kebanyakan berkoloni, saya menyimpulkan mungkin Giant Ibis ini pangsa pasarnya turis asing.

Bus berangkat tepat waktu sesuai dengan jam yang ditentukan.  Estimasi perjalanan akan memakan waktu kurang lebih 8 jam (termasuk pengecekan paspor di Imigrasi Vietnam dan Cambodia). Sepanjangan perjalanan saya bertanya mengapa bus penumpang disini memakai seatbelt? Barulah saya tahu kondisi jalan yang bumpy menjadi alasannya. Saat bus baru berangkat, seorang pramu bus menghampiri satu persatu penumpang untuk memberikan formulir imigrasi yang harus diisi. Setelah kami mengisi, satu persatu formulir imigrasi dan paspor tersebut diserahkan kembali ke petugas agar lebih mudah dalam proses imigrasi. Lagi-lagi, modus yang tak disengaja saya bekerja, pulpen saya hilang, dan saya meminjam pulpen dari si lelaki bule setelah dia selesai mengisi formulir imigrasinya. Secara tak sengaja (namun ingin tahu) saya melihat ia membawa dokumen besar yang terbaca ia berasal dari Amerika (duh, saya lupa namanya pula!).

Di perjalanan saya kebanyakan memperhatikan pemandangan diluar (untung saya dapat di dekat jendela). Sedangkan lelaki bule itu sibuk dengan laptopnya. Sepertinya ia seorang kontributor travelling. Karena, lagi-lagi, secara tak sengaja (namun ingin tahu)  saya melihat isi sticky notes yang menempel di layar desktopnya yang berisi judul-judul artikel yang ia buat.

P_20190225_123706

Bus kami tiba di perbatasan Vietnam; Mộc Bài sekitar pukul 12an. Kondektur sudah memberikan aba-aba untuk mengikutinya ke lobby imigrasi. Di perbatasan ini, tak ada hingar bingar perkotaan seperti di HCMC. Kami juga disambut oleh oknum penjual mata uang. Setelahnya, saya hanya mengikuti rombongan. Saat itu suara si pramu perempuan yang mengurusi paspor agak sedikit kecil sehingga saya hanya mendengar sayup-sayup penjelasannya. Tak lama, gerombolan itu pun bubar. Saya cukup bingung saat itu, sampai saya hanya mengikuti beberapa bule perempuan yang ke toilet. Saat mengantri, saya memberanikan diri untuk bertanya pada salah satu bule perempuan, pramu perempuan itu berkata apa. Ia pun juga tak mendengar, dan menerka bahwa nanti ia akan memanggil nama kita satu persatu. Benar saja, untungnya, tak lama, si pramu perempuan memanggil nama kita satu persatu. Ternyata, ia mengumpulkan paspor untuk langsung di cap oleh petugas imigrasi agar tak terjadi kericuhan dan penumpukan. Tak lama, nama saya juga ikut dipanggil setelah ia agak kesulitan melafalkan nama saya.

Setelahnya, kami kembali naik ke bus untuk bergegas ke kantor imigrasi Cambodia. Namun, sebelum itu, kami diturunkan di Duty Free untuk aktivitas bebas dan makan siang. Lagi-lagi, karena tidak yakin dengan makanan yang disuguhkan, saya hanya mengganjal perut dengan onigiri tuna yang saya beli di Circle-K. Sambil duduk-duduk di lobby depan saja. Kemudian, kami diarahkan ke imigrasi Cambodia untuk cap paspor kedatangan.  Sebenarnya, saya sudah menyiapkan uang pecahan $5 untuk berjaga-jaga. Berdasarkan pengalaman yang dibagi traveller yang pernah melintas disana, sering diminta uang pelicin untuk memudahkan pengadministrasian imigrasi. Tetapi untungnya segala hal berjalan dengan lancar.

P_20190225_131553

Setelah urusan imigrasi sudah selesai, bus kembali berjalan melewati jalanan berdebu perbatasan Cambodia. Di sisi kanan dan kiri banyak terdapat kasino yang banyak bertumbuh kembang disana. Sinar matahari semakin terik ditambah jalanan berdebu yang menambah silau pemandangan diluar. Sialnya, di bagian kursi saya tirai jendela habis ditarik penumpang di depan dan belakang saya. Saat itu, saya dan lelaki bule di sebelah saya sudah merasakan ketidaknyamanan. Alhasil, saya cuma bisa mengeluh dengan cara pandang-pandangan. Sampai akhirnya saya berinisiatif menawarkan: “Saya akan pakai jaket saya untuk menutupi silau jendela.”, si lelaki bule cuma tersenyum dan mengangguk. Lumayan lah untuk menghalau sinar matahari.

[saking terjebak keadaan dengan si Bule, saya jadi membuat sajak, disini]

Rencana saya setelah sampai di Phnom Penh adalah menunggu bus ke Siem Reap hingga jam 11 malam. Awalnya saya berencana duduk-duduk di coffeeshop dan mampir ke masjid di sekitar Phnom Penh. Tapi rasanya, saya butuh tempat transit untuk sekedar mandi, berganti baju dan sedikit berebah. Akhirnya di perjalanan, saya memutuskan untuk memesan kamar di Coolwrong Hostel seharga $4.

Jarum jam mulai mengarah pada angka 4 saat bus kami mulai memasuki kota Phnom Penh. Saat itu jalanan lumayan padat karena sama seperti di Jakarta, saat itu jam-jam anak sekolah dan pekerja pulang kerumah. Bus saya pun tiba di pool Giant Ibis tepat pukul 5 sore.

Setelah kami sampai di pool Giant Ibis, saya memutuskan untuk mengisi perut dahulu. Karena masih tak berselera dan tak yakin dengan makanan khas sini, saya memutuskan untuk mampir ke KFC yang untungnya berjarak tak jauh dari pool Giant Ibis. Dari sana saya berjalan kaki sebentar sejauh 300 meter. Disana saya memesan paket nasi ayam beserta acar dan cola. Untuk rasanya? Sedikit lebih berbumbu dari KFC Vietnam. Nasi yang disajikan semacam nasi hainam yang berbumbu. Sambalnya pun lebih asam.

Setelah kenyang makan, saya memesan Grab Tuk-Tuk karena jarak ke Coolwrong Hostel cukup jauh. Tuk-tuk di Kamboja ternyata seperti bajaj namun tak memiliki pintu. Sepanjang perjalanan, saya menyadari bahwa sudah lama sekali rasanya saya tidak naik bajaj di Jakarta. Lambat laun saya yakin angkutan itu akan benar-benar hilang. Jalanan di Kamboja mengingatkan saya pada Indonesia. Rasanya memang tak seperti di luar Indonesia. Memasuki pertigaan yang dihadapkan pada sungai besar, tuk-tuk tersebut berhenti dan menunjukkan hostel (yang juga kafe kecil) tujuan saya. Lokasi hostel saya menyelip diantara ruko-ruko di jalan yang berhadapan dengan sungai Tonle Sap. Angin yang berhembus dari pelataran sungai begitu menghipnotis saya. Apalagi di pinggiran sungai dibangun jalan dan taman kecil untuk duduk-duduk. Duh, saya harus mampir kesana nanti malam.

Saya disambut oleh resepsionis Coolwrong Hostel berkebangsaan Asing (yang mungkin pemilik juga). Tidak heran kalau Kamboja menggunakan dua mata uang untuk transaksi, yaitu Riel dan US Dollar, karena begitu banyak turis asing yang berkunjung ke negara ini. Coolwrong Hostel sendiri hanya menyediakan pembayaran secara tunai. Setelah membayar, saya ditujukkan ke Female Dormitory di lantai 2 yang memiliki 6 kasur bertingkat. Kasur saya berada di ujung pintu masuk. Di ujung kamar, terdapat beranda dengan kaca besar yang dapat langsung melihat pemandangan tepi sungai. Di beranda tersebut juga terdapat bantal-bantal untuk duduk.

Di hostel ini tidak disediakan handuk gratis. Namun, jika kita ingin menggunakannya, dikenakan lagi biaya sebesar $2. Untungnya, saya membawa handuk sendiri jadi tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan. Apalagi saya berdiam di hostel ini hanya selama 5 jam. Saya agak kaget ketika melihat kamar mandi. Saya pikir kamar mandi antara perempuan dan laki-laki akan terpisah karena kamar yang juga dibedakan berdasarkan gender. Kamar mandinya memiliki sepuluh bilik kamar mandi dan beberapa wastafel. Saya mengambil kamar mandi yang berada di dekat pintu keluar sehingga tidak perlu merasa risih jika harus melihat tamu laki-laki lain yang habis mandi. Selesai mandi saya bersembahyang di samping kasur saya, tentunya setelah memberikan notifikasi pada tamu di sebrang kasur saya untuk meminjam sedikit areanya. Setelah itu saya berebah di kasur untuk beberapa saat.

Tak lama, seorang tamu perempuan berwajah Chinese menghampiri saya. Ia mengajak berkenalan dan menanyakan darimana asal saya. Duh, saya lupa pula namanya. Tapi perempuan itu sepertinya sudah cukup berumur, mungkin 35 tahunan. Ia berasal dari Hongkong. Singkat cerita, kami jadi duduk-duduk di beranda kamar sambil sedikit bertukar informasi. Ia baru saja kembali dari Siem Reap untuk kegiatan sosial mengajar bahasa Mandarin. Ia bercerita bagamainana Cambodia, terlebih Siem Reap punya magnet untuk mengajaknya kembali. Setelahnya ia memberikan saya sedikit camilan, ada kerupuk dan semacam pisang goreng.

Karena melihat kilau di pinggir sungai Tonle Sap yang begitu menggoda, saya jadi ingin turun sebentar kesana. Perempuan itu juga ingin turun untuk membeli makan malam Karena saya sudah menyantap KFC sore tadi, agaknya minum kopi terasa enak juga. Jadilah saya memesan kopi di gelas plastik untuk dibawa ke pinggir sungai. Waktu itu masih pukul 8 malam. Cukuplah satu jam untuk merasakan semilir angin pinggir sungai.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Saya duduk di area yang menurun. Semilir angin sungai, serta pemandangan berkilau dari restauran mengapung serta perahu yang berlalu lalang, ditambah kemilau dari jembatan penyebrangan disana tampaknya menjadi kombinasi yang teramat menarik untuk transit singkat di Phnom Penh ini. Sayang sekali masih ada yang kurang, tadi saya tak sempat mampir Genocide Museum. Mungkin lain kali kalau berkunjung lagi ke Phnom Penh saya harus main kesana.

Ketika jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 lewat, saya kembali lagi ke hostel untuk berkemas. Jam 10 nanti, saya akan checkout. Untuk menuju pool Giant Ibis kembali pun saya menggunakan jasa tuk-tuk, tapi kali ini yang konvensional. Saya tahu sih harganya akan lebih mahal, tapi tak apalah. Kan mencoba.

Pukul 10.20 saya tiba di pool Giant Ibis. Beberapa turis asing sudah mengantri di pool sementara Sleeper Night Bus nya masih dipersiapkan. Pukul 10.45, bus mulai dibuka. Satu persatu penumpang mulai naik. Saya sendiri baru pertama kali mencicipi naik night bus yang ada tempat tidurnya. Saya memesan seat nomor 4A yang ada di bawah dan untuk single passenger. Aneh juga rasanya jika kedapatan kursi dengan orang asing di sebelah kita.

Untuk seatnya sendiri rasanya cukup untuk tinggi orang Asia, tapi kalau untuk turis asing rasanya akan kurang panjang untuk meluruskan kaki.  Dalam satu perjalanan ini kita mendapatkan air mineral serta bantal dan selimut untuk menemani sepanjang perjalanan. Selesai membereskan area tidur, dan membungkus diri dengan selimut, mata saya mulai terpejam. Bismillah semoga lancar!

Selamat malam!