Fantasia #4

Kau menarik kursi itu untukku. Lalu aku ucapkan terima kasih sembari terkikih kecil karena lucu melihat perilakumu yang tak biasa. Sepanjang tahun-tahun pertemanan kita, rasanya tak pernah kutemukan perlakuanmu yang teramat baik itu. Entah karena engkau yang telah berganti jubah menjadi lebih dewasa atau pertemuan yang lama tak berjumpa sehingga rasa-rasanya saling berperilaku baik adalah cara menuntaskan rasa rindu. Kau sodorkan padaku buku menu berwarna cokelat dihiasi nuansa klasik.

“Apa yang ingin kau pesan?” tanyamu. Bola mataku berlarian ke penjuru tulisan di buku menu itu. Belum tuntas aku membolak-balikannya hingga halaman terakhir, kau sudah berceletuk, “Pasti kopi lagi.”

Aku tersenyum kecil. “Ah, kau sok tahu.” . Terbersit rasa senang bahwa kau masih ingat aku pecinta kopi. “…dan kau tak minum kopi.” lanjutku.

Aku tutup buku menu lalu aku panggil pramusaji yang berdiri di ujung kasir. Kau sudah tahu bahwa aku akan menyebutkan menu yang sama, “Latte dingin dengan sedikit gula.”

Kau tersenyum. “Tentu saja aku tahu dirimu.”

Aku membalasnya sambil tersenyum, “Tetapi tak semuanya.”

“Kau saja yang tak tahu.” balasmu.

Aku tersenyum lagi, “Memang aku serba tahu.”

“Atau kau pura-pura tidak tahu.”

Kemudian kami tertawa. Tak berapa lama latte pesananku diantar ke meja. Setelah renyah tawa kita, kau menyelipkan pertanyaan yang menggugah rasa. Katamu, “Apa kabar?” Dua detikku berlalu sia-sia. Mengapa sulit menjawab pertanyaan singkat itu.

Setelahnya pertemuan itu menjadi pembawa memori nostalagia. Bahwa kita selalu bertemu untuk sesuatu yang tak pasti. Tak ada tujuan. Hanya ingin mengobrol tak jelas juntrungannya serta banyak menertawakan peradaban. Jangan terlewat juga, kita saling mencemooh persamaan dan perbedaan kita meskipun kita bertetangga di bulan yang sama.

*

Di tiap-tiap sore menjelang malam yang jenuh, tak ada yang terlewat kecuali dirimu. Kau adalah tempat untuk menghilangkan diri, melepaskan diri dari penjara yang membiarkan kebebasanku terkukung gedung tinggi. Lalu bersamamu, aku menemukan celah-celah pencahayaan yang memercikan kesenangan. Entah karena saling melihat wajah, atau bertukar candaan pada perkataan yang seringnya tak baik. Dan selalu saja, aku menjerumuskanmu dalam kepiawaianku yang tak semua orang miliki. Aku pandai berjalan kaki. Bisa jadi saat tak bertujuan itu datang, aku mengajakmu turut serta menyusuri jalan-jalan panjang. Sambil sedikit memberikan harapan palsu bahwa di ujung jalan sana ada tempat yang menarik. Padahal aku pun tak tahu. Lalu, saat yang diharap tak tampak di pelupuk mata, aku mengajakku berbalik arah lagi. Sampai di suatu waktu, kau menyerah, kau bilang, “Kita pesan angkutan online saja. Aku kasihan padamu, nanti kau lelah.” Padahal aku tahu, kau yang lelah, kau yang tak biasa. Lalu, aku tertawai ketidakpiawaianmu itu, aku kumpulkan dalam kantong memoriku.

Seringnya juga kita mengobrol hingga larut malam, di toko kelontong moderen pinggir jalan. Sambil menyeruput minuman yang dingin. Terkadang bersama bulir-bulir hujan yang turun, atau bersama nyamuk-nyamuk yang menggigiti kulit kaki dari kolong meja, atau bersama cuaca panas yang membiarkan peluh di punggung badan. Kemudian saat jarum jam menuju tengah malam kita baru tersadar bahwa kita sama-sama jelmaan upik abu yang harus kembali pulang ke rumah yang tak beratap. Aku senang membayangkan kehidupan pengembara yang tak kenal pulang. Tapi, mengapa aku harus mengenal pulang saat aku sedang mengembara bersama dirimu?

Aku ingat betul, terakhir kita bertemu, kau sedang diujung tanduk. Aku kira, kau masih upik abu yang bertaruh waktu, menunggu kereta kuda datang bersama pangeran tampan yang membawa sepatu kaca. Tetapi, kemudian kau serta merta meninggalkan dunia dongeng, sehingga aku satu-satunya orang yang terkunci disitu. Kau telah menemukan rumahmu. Kau tak perlu mengembara lagi denganku. Padamu, pada jati dirimu yang baru. Pada kesibukanmu yang dilolong waktu. Entah harus mengucap syukur atau tidak, sebagai kawan aku turut bersuka. Sebagai kawan, aku turut berduka. Sejak saat itu, kita tak pernah bertemu.

*

“Lalu, kau juga apa kabar?”

Selesai menuntaskan cerita yang tak tersampaikan selama kita tak bertemu, aku membalikkan pertanyaan itu padanya. Kau tersenyum lebar. Seakan banyak sekali hal yang ingin disampaikan. Terbersit dalam hati, jika itu banyak, mengapa tak pernah kau bagi padaku sesekali saja.

“Sebentar, biarkan aku minum dahulu.”

Kau menyeruput minuman cokelatmu dengan perlahan. Tatapan matamu berhenti pada kilau yang menyambar dari jemariku. Tak lama, tatapan itu mengarah ke mataku. Aku mengerti maksudmu. Bahkan, sebelum kau mulai bertanya, kutuntaskan cerita yang tidak atau belum aku ceritakan itu padamu.

“Ya. Ada seseorang yang datang.”

Kau mengangguk perlahan. Rautmu berupaya keras membelakak. Kau ucapkan perasaan senangmu akan itu. Tanpa bertanya banyak lagi, kau sudah tahu apa isi kepalaku. Percakapan kita agaknya tak kenal waktu. Jarum jam tanganku sudah melebar tiga langkah dari awal kita bertemu. Percakapan itu teramat menarik, masih meninggalkan perasaan senang yang sama.

*

Sesungguhnya tak pernah terbayangkan bahwa di suatu pagi yang cerah perasaanku yang dahulu menyeruak dengan angkuhnya berkata, “Tanpamu aku mati saja.” atau, “Aku tak akan pernah bisa melupakanmu sampai mati.”, atau “Aku akan menjadi perawan tua karena tak dapat memilikimu.” itu dapat berganti makna. Tak ada kehendak absolut yang menginginkan keberadaanmu saja. Rasanya juga aku tak seburuk itu bila tak ada engkau. Lalu, pernyataan-pernyataan tersebut berakhir dengan pertanyaan, “Jangan-jangan cinta itu semu? Apakah keberadaannya tak ada? Atau ia adalah konsep buatan yang dipopulerkan  umat manusia? Atau ini adalah cara mengaitkan romantisme dalam ruang kehidupan? Atau sesungguhnya kita tak benar-benar mencinta dengan sesama?”

Aku yakin kau masih ingat, aku katakan sesuatu padamu malam itu. Tetapi, bukankah kau bertanya-tanya, mengapa tak aku biarkan kau mengatakan itu padaku malam ini?

*