Singgah

Yang baru saja datang adalah kereta kedua yang sengaja kulewatkan. Aku belum berkeinginan untuk beranjak dari kursi penumpang di stasiun yang berlatar warna oranye. Khayaliku masih mengembara bersama angin yang berlalu lalang serta kesedihan yang sedang mampir dan bersarang di kepala. Sejak setahun lalu, aku tak pernah melawannya lagi. Saat kesedihan itu singgah, aku tak melakukan apa-apa untuk menghapusnya. Sebab semakin aku berusaha keras menghapusnya, semakin sakit pula rasa yang menumpuk setelahnya. Terlebih lagi setelah aku mendengarkan album Mantra-Mantra milik Kunto Aji, dimana ia membiarkan manusia melalui kodratnya, berteman dengan air mata.

Dan tentang cara si kesedihan singgah juga tak pernah aku tahu kapan dan bagaimana ia singgah. Seringnya ia datang tanpa aba-aba. Tanpa instruksi atau pemicu yang memantiknya. Semuanya terjadi begitu saja.

Ponselku bergetar pelan. Aku lihat ada satu pesan Whatsapp dari Ayah. Ia bertanya, mengapa aku belum tiba di rumah. Aku segera menjawab, aku masih di kereta. Setelahnya, aku kembali melanjutkan prosesi menikmati kesedihan di peron kereta. Tunggulah, aku masih ingin menikmati dua sampai tiga lagi kereta yang lewat. Setelahnya, aku akan pulang.

Awalnya kukira perubahan cuaca lah yang membuat mataku sering berair akhir-akhir ini. Anomali tubuh yang lumayan lama terjadi ini terjawab setelah secara tiba-tiba serangan tangisan itu datang. Dua hari lalu saat aku membuka lemari dan sedang merapikan beberapa bagian helai baju, mataku perlahan membeku. Sekitar lima detik menatap kosong papan bagian dalam lemari. Saat itu juga, seketika saja, bayangan lawas akan masa kecilku berputar seperti layar bioskop. Pemandangan           akan perpisahan, perubahan hidup yang tiba-tiba terjadi tanpa alasan, dan pengaruh orang-orang sekitar yang masuk ke dalam pikiranku terjadi. Segala hal itu akhirnya berhasil membebaskan airmata yang hanya membuat mataku berair seperti sakit mata – melainkan hujan deras yang akhirnya turun. Aku sesegukan. Segera aku tutup pintu kamarku untuk menghindari pertanyaan orang rumah. Dan aku menyumpal mulutku dengan bantal agar tak bersuara. Sungguh tangisku pecah tak karuan. Lagi – tak ada pemicu, tak ada sebab. Semua yang membatu akan pecah, seiring dengan derai air mata.

*

September, 1999

Aku menjilati sisa cokelat yang tersisa di jari tangan hingga habis. Temanku, Bella, juga melakukan hal yang sama. Ari, yang duduk di tangga paling atas juga melakukan hal yang sama. Kami selalu melakukan hal ini sepulang sekolah. Makan roti cokelat di tangga toko warung merah di depan sekolah. Sambil mendengar suara tawa teman-teman kami yang masuk siang serta deru kendara yang lewat di depan jalanan kecil depan sekolah kami. Kadang sisa-sisa cokelat ini menempel di seragam putih serta rok merah tanpa kami sadari. Yang pada akhirnya membawa kami pada ocehan Ibu kami masing-masing.

“Besok sisakan uang jajan untuk beli roti lagi ya!” seru Bella mengingatkan aku dan Ari. Aku mengangguk sambil membentukan jempol ke hadapannya.

Setelahnya kami pulang masing-masing ke rumah. Setelah ini aku pasti tidur siang. Benar saja sesampainya dirumah, setelah berganti baju aku tidur siang. Tetapi ternyata, tidur siangku kala itu tak berjalan dengan lancar. Suara kegaduhan itu muncul, suara ayah dan ibuku memecah keheningan tidur siangku. Aku terbangun. Aku lihat ibu sudah menggenggam tas besar di tangannya. Saat melihatku, ia menghampiriku.

“Ibu pergi dulu ya, Nak. Baik-baik ya, Nak. Belajar yang rajin, harus selalu dapat peringkat di kelas. Nanti Ibu jemput setelah pulang.” aku terdiam saja mendengarkannya. Untukku yang saat itu berusia enam tahun sulit rasanya mencerna kata-kata itu. Ibuku akan pergi? Kemana? Ia tak di rumah lagi? Lalu siapa yang mencuci dan menggosokkan baju seragamku? Yang menyodorkan sepiring nasi padaku?

“Ibu mau kemana?” tanyaku tanpa menjawab kalimat yang telah ia lontarkan.

Ibuku tersenyum singkat. “Ibu mau bekerja diluar negeri.”

Tanpa berpanjang lebar ia meninggalkan rumah dalam keheningan. Ayahku tak berkata apa-apa. Ia sibuk membereskan barang-barang lainnya di rumah. Sebentar, mengapa ayahku ikut berkemas? Apa ia ingin bekerja diluar negeri juga? Lalu aku tinggal dengan siapa?

“Ayah, mengapa semua barang dimasukkan ke dalam boks?”

Ayahku berhenti sejenak merapikan barang-barang, “Besok sekolahmu libur dulu ya, Nak. Nanti ayah beri tahu.”

Informasi yang diberikan tak aku proses lebih lanjut, melainkan aku simpan rapat-rapat dalam kotak pikiranku. Aku masih tak mengerti. Lalu aku kembali tidur siang.

Keesokan harinya, Ayah membawaku serta naik kereta api ke suatu daerah di sekitar Bogor. Segala hal terjadi begitu cepat. Perpindahan ini, perpisahan dengan Ibuku, serta pengingkaran janji yang aku lakukan pada Bella dan Ari. Aku bahkan tak sempat bertemu dengan mereka lagi. Ayah mempersilahkanku masuk ke dalam rumah kontrakan berderet berdinding putih itu. Seorang perempuan muda menunggu kami di dalam. Ayah menyuruhku bersalaman dengannya. Aku mengikuti saja. Setelahnya aku baru tahu perempuan muda itu adalah Ibu tiriku. Saat itu aku masih tak bereaksi, aku masih mengumpulkan segala informasi untuk kemudian dikumpulkan di kotak pikiranku – yang nyatanya tak pernah kusampaikan hingga kotaknya penuh.

*

Air mata kembali mengembang di pelupuk mataku. Segera kuseka sebelum dilihat orang-orang. Untung saja aku menggunakan masker dan kacamata untuk mengalihkan kalau-kalau hujan itu turun lagi. Tak berapa lama, suara dari pengeras stasiun memberitahukan bahwa kereta jurusan Bogor akan segera tiba di peron satu. Aku menarik nafas panjang. Aku pulang – ya, aku pulang.

Aku ucapkan selamat tinggal pada kesedihan yang sudah singgah di penghujung tahun ini. Terima kasih telah hadir. Terima kasih telah mengingatkan.

*

//Terinspirasi dari ‘Pilu Membiru Experience’//